POTRET YAYASAN MI`RAJUSH SHIBYAN NW PONDOK PESANTREN NAHDLATUL WATHAN JAKARTA Oleh : H.Muslihan Habib “Pendiri Pesantren Terdampar di Tanah Betawi”
Pondok pesantren Nahdlatul Wathan Jakarta yang berdiri dan berlokasi di wilayah Kampung Pisangan I, Rt.01-Rw.03, Kelurahan Penggilingan, Kecamatan Cakung, Kota Madya Jakarta Timur, Propinsi DKI Jakarta ini, secara embriotik, tidaklah terlepas dari sejarah awal dari pendiri pesantren ini al-Ustadz Haji Muhammad Suhaidi bersama teman-teman seperjuangannya yang datang dan terdampar di Tanah Betawi Jakarta pada akhir tahun 1979.
Pada akhir tahun 1979 itu, Ia bersama rombongannya yang berjumlah sekitar dua puluh tiga (23) orang lebih, berangkat dari Lombok, NTB, menuju Arab Saudi (Makkah al-Mukarramah) dalam rangka untuk melanjutkan studi atau menuntut ilmu. Keberangkatan mereka ini difasilitasi oleh sebuah Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) saat itu. Namun, niat suci mereka ini gagal menjadi kenyataan, lantaran ditipu oleh oknum PJTKI yang memfasilitasinya itu.
Setelah tiga bulan calon-calon Mahasiswa ini terkatung-katung di Jakarta dan gagal berangkat, maka saat itulah baru mereka mengetahui dan sadar, ternyata mereka semua ditipu oleh oknum PJTKI tersebut. Dan mereka pada akhirnya banyak yang mengambil sikap dengan memilih kembali pulang ke Lombok. Namun demikian, banyak juga diantara mereka yang lebih memilih tinggal dan merantau di Jakarta. Lalu, ada yang bekerja di instansi-instansi swasta dan akhirnya ketemu jodoh dan menikah dengan penduduk asli dari suku Betawi, seperti ustadz Chairuman alias Chairul Hadi (alm) dan ustadz H. Darmawan, misalnya. Selain itu, ada juga yang lebih memilih melanjutkan niat awalnya dalam menuntut ilmu dengan mengikuti perkulihan di perguruan tinggi yang ada di Jakarta ini, seperti, ustadz H.Muhammad Suhaidi yang kemudian dikenal sebagai pendiri dan pimpinan pesantren Nahdlatul Wathan Jakarta.
Dalam perkembangan selanjutnya, mereka calon mahasiswa yang berasal dari Lombok, NTB yang terdampar inilah kemudian disebut sebagai motor penggerak awal dalam menancapkan tongkat lahir dan munculnya cikal bakal pesantren Nahdlatul Wathan Jakarta.
Mengenai sejarah menarik terdamparnya para pendiri pesantren ini, telah terekam pula dalam majalah SINAR LIMA SYI`AR ISLAM DAN KE-ENWE-AN, edisi pertama, Januari 1995, yang diterbitkan langsung oleh ponpes Nahdlatul Wathan Jakarta. Terkait sejarah terdamparnya ini, secara utuh dalam topik sejarah yang bertemakan; “Niat Ke Tanah Suci Terdampar Di Tanah Betawi, Memilukan sekaligus memalukan, siapa nanya, siapa nyangka NW Jakarta lahir dari duka nestapa para pendirinya”.
Untuk lebih jelasnya, berikut petikannya;
“ Akhir tahun 1979, Ma`had Darul Qur`an Wal Hadits al-Madjidiyyah al-Syafi`iyyah Nahdlatul Wathan Pancor Lombok Timur Nusa Tengara Barat, para mahasiswa yang sedang menekuni dan mendalami ilmu-ilmu agama, tiba-tiba mengalihkan perhatian ke sebuah pengumuman tentang pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi. Lalu, mendegar informasi itu, lantas sebagian dari mereka ada yang merasa tertarik untuk ikut serta sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi tersebut. Mereka yang tertarik langsung pulang ke kampung halaman masing-masing untuk musyawarah dengan keluarga mengenai restu, biaya, dan persiapan-persiapan lainnya.
Tak ayal lagi, tanpa mempertimbangkan segala resiko, mereka berusaha mengumpulkan dana dari berbagai sumber. Ada yang menjual tanah milik keluarga, ada yang menjual sebidang tanah warisan dan ada juga yang mendapatkan biaya dengan jalan menggadaikan kebun dan sawahnya.
Dari 47 orang yang mendaftarkan diri, hanya 23 orang memenuhi kwalifikasi. Setelah dana terkumpul, hari yang di tunggu-tunggu pun tiba. Dengan dilepas seluruh anggota keluarga, tetangga, temanserta handai taulan masing-masing, dari Bandar udara Rembiga (sekarang Selaparang), berangkat mereka ke Arab Saudi. Dua puluh menit kemudian ternyata pesawat Garuda F 27, mendarat di Bandara Ngurah Rai-Bali. Disinilah mereka mulai merasakan adanya gejala ketidak beresan. Rupanya bukan langsung terbang ke Arab Saudi, tetapi ternyata hanya sampai di Ngurah Rai-Bali. Semalam di Bali, kemudian berangkat dengan bis malam keesokan harinya. “Tanpa tujuan yang pasti, di dalam perjalanan tersebut saya berfikir;kemana arah perjalanan selanjutnya ?” tutur Badaruddin selaku ketua kelompok dari ke 23 orang itu.
Dua hari di perjalanan, akhirnya mereka sampai di sebuah terminal bis kota, yang kemudian di ketahui sebagai terminal Pulo Gadung. “kami bingung saat itu, dimanakah kami berada, mengapa kami di suruh turun?” kenang ketua kelompok 23 yang berasal dari Teratak Kecamatan Batukeling, Lombok Tengah.
Dalam perjalanan ke tempat penampungan baru, rombongan yang sudah mulai lelah dalam perjalanan diberitahukan bahwa saat itu mereka berada di Jakarta “Sekaranng kita sudah berada di Jakarta!” ujar penanggung jawab rombongan. Tetapi rombongan TKI yang sebagian besar dari thullab (santri-pen) Mahad Daarul Qur`an wal Hadits Pancor itu tidak yakin.”Apakah ini Jakarta yang sering kami lihat di Televisi?” sanggah mereka.
Di rumah penampungan itu, mereka menunggu. Sampai akhirnya pada minggu ketiga awal tahun 1980 itu, kondisi persediaan keuangan mulai menipis. Tetapi, belum ada kepastian keberangkatan ke tanah suci. “Kita sedang mengurus passport dan visa untuk berangkat ke Arab Saudi.”kata penanggung jawab yang mengambil alih tanggung jawab rombongan TKI dari Lombok.
Dalam rangka menanti keberangkatan itu pula, kelompok 23 ini dianjurkan untuk mengikuti berbagai pendidikan non-formal, seperti kursus setir mobil, bahasa Inggris, mengetik dan lain-lain. “Dana kursus ditanggung oleh kami”, katanya lagi.
Minggu berikutnya mereka menghadapi permasalahan yang sangat berat, biaya hidup telah habis ketika mereka diusir dari penampungan. “Baru kami sadari rumah yang kami tempati hanyalah rumah kontrakan.” Ucap Badaruddin memelas.
Tak ayal lagi, mereka meminta pertanggung jawaban. Mereka kemudian dipindahkan ke Simpang Tiga (sebuah pertigaan jalan di Jln. Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur) untuk menempati rumah yang telah dikontrak sebelumnya.
Kondisi kontrakan yang mereka tempati ternyata tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, bahkan jauh lebih memprihatinkan. Suasana ini membuat mereka tidak merasa betah.” Sebaiknya kita mencari alternatif lain yang lebih menguntungkan.” Ajak Badaruddin, ketua kelompok 23.
Satu-satunya pilihan mereka adalah mushalla. Mulanya mereka hanya datang untuk melaksanakan ibadah. Keahlian mereka dalammembaca al-Qur`an menimbulkan ketertarikan pemimpin Mushalla. Mereka kemudian diajak untuk bersama-sama mengajar mengaji.